HABADAILY.COM - Ekonom mengingatkan pemerintah RI untuk waspada terkait santernya kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang menembus Rp16.400, baru-baru ini. Hal itu mulai memunculkan kekhawatiran tentang kondisi ekonomi Indonesia.
Melansir Kompas, Kamis (20/6/2024) yang mengutip data Google Finance, per Selasa lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp16.410. Di sektor industri tekstil, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) melaporkan sebanyak 13.800 pekerja terkena PHK sejak awal 2024, dengan sedikitnya enam perusahaan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tutup dan empat lainnya melakukan efisiensi PHK.
PHK tidak hanya terjadi di industri tekstil. Marketplace Tokopedia juga melakukan efisiensi pekerja setelah bergabung dengan TikTok Shop, dengan alasan penyesuaian yang diperlukan pada struktur organisasi sebagai bagian dari strategi perusahaan agar dapat terus tumbuh.
Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia saat ini masih berada di level bertahan (survive). Ia menepis anggapan bahwa ekonomi Indonesia sedang terpuruk.
Eddy menjelaskan, untuk menilai kualitas ekonomi suatu negara tidak cukup hanya melihat indikator pelemahan nilai tukar mata uang dan PHK massal.
“Apakah (ekonomi kita) benar-benar sakit? Secara indikator makro tidak juga. Pertumbuhan ekonomi tidak istimewa, tapi tidak buruk. Masih survive,” ungkapnya, Rabu kemarin.
Ada beberapa indikator lain seperti tingkat inflasi, suku bunga, dan cadangan devisa negara, yang menurut dia, masih menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih dalam batas wajar. Tingkat inflasi di Indonesia tidak seburuk negara lain. Selisih tingkat acuan suku bunga Indonesia dengan Amerika Serikat juga terbilang tidak terlalu besar, dan cadangan devisa Indonesia cukup kuat meski tidak sebesar China.
Namun, ekonom lainnya dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyoroti bahwa maraknya PHK massal menunjukkan pelemahan daya saing ekonomi Indonesia. Ia menyatakan bahwa pelaku usaha lokal kalah dari pelaku usaha asing, sehingga banyak yang gulung tikar dan menyebabkan PHK massal.
"Pelaku usaha gulung tikar akibat kalah dari pelaku usaha asing. PHK massal merupakan konsekuensi fenomena ini,” ucapnya.
Walaupun kondisi ekonomi Indonesia masih bertahan di tengah berbagai tekanan, disiplin moneter dan fiskal tetap harus dilakukan. Eddy menyampaikan bahwa Bank Sentral harus menjaga tingkat suku bunga, inflasi, peredaran uang, mengawasi stabilitas mata uang, dan pemberian lisensi ke lembaga keuangan.
Sementara Kementerian Keuangan menurutnya harus menjaga pemasukan dan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tidak melebihi defisit tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Wijayanto juga menekankan pentingnya fiskal yang kredibel dengan cara menghemat berhutang dan mengurangi belanja negara yang tidak perlu.
Untuk solusi jangka panjang, katanya lagi, pemerintah disarankan membangun kembali dan mendorong pertumbuhan sektor formal, yang merupakan kunci daya saing ekonomi dan stabilitas fiskal serta sangat krusial bagi stabilitas rupiah.
“Ini kunci daya saing ekonomi dan stabilitas fiskal, dua hal yang sangat krusial bagi stabilitas rupiah,” pungkasnya. []
Sumber: Kompas.com