
Tapi Bukan Udin Pelor namanya kalau tidak bisa mensiasati itu. Ia mengajak rekannya yang lain Fajar untuk men-dubing suaranya. Fajar benar-benar mampu meniru suara Udin Pelor, sementara Udin Pelor sendiri hanya berlakon saja. Para penonton sangat terhibur dengan itu.
.jpeg)
Udin Pelor bernama asli Mahyuddin, ia lahir di Matang Geulumpang Dua, Kabupaten Bireuen pada 6 Juni 1945. Dalam setiap penampilannya ia selalu bergaya parlente dengan rambu dikucir ke belakang, kemeja lengan panjang yang dipandu dengan rompi dan celana jeans. Gayanya di atas penggung dengan sentilan dan dialog-dialog konyol serta satire mampu membuat penonton tertawa. Ia tampil sebagai orang yang seolah serba tahu.
Kata “Pelor” pada namanya tidak muncul begitu saja, tapi ditabalkan oleh orang-orang setelah ia selamat dari sebuah pertempuran antara tentara DI/TII dengan TNI, hingga kemudian ia dijuluki Udin Seuk Pelor yang artinya, Udin yang peluru membelok darinya. Sejak itulah namanya dipanggil Udin Pelor.
Kepiawaian Udin Pelor dalam berlakon juga tidak muncul begitu saja, itu merupakan buah dari perjalanan hidup. Kesulitan ekonomi membuatnya harus menjalani berbagai profesi, hingga kemudian menjadi penjual obat keliling, di sinilah kelihaan Udin Pelor dalam mengolah kata muncul. Ia harus pandai bercerita untuk menarik orang agar membeli obat yang dijualnya.
Ia pindah dari satu pasar ke pasar lain untuk jualan obat di hari peukan. Menariknya kebanyakan pengunjung lapak jualan obatnya, membeli obat bukan karena sakit, tapi hanya demi menonton dan mendengar celotehnya yang satire dan menghibur. Kemampuannya itu kemudian dibawa Udin Pelor ke panggung-pangung pertunjukan, dari lapak jualan obat, ia berpindah menjadi MC di berbagai acara.
Sebagai seniman panggung, Udin Pelor juga piawai bermain sandiwara. Ia membentuk group sandiwara Sinar Desa Geulanggang Labu yang melakukan pertunjukan ke berbagai daerah. Karena itu pula ia menjadi idola dan pelawak paling terkenal pada masa mudanya. Di masa tuanya, Udin Pelor tinggal di desa Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.
Malam semakin menanjak, turun dari panggung pertunjukan di lapanggan Lubok Sukon itu, ramai warga yang berfoto ria dengannya. Usianya memang sudah tua, gayanya tak lagi segagah dan sekocak dulu, tapi pesonanya sebagai seniman gaek Aceh tak pernah luntur.[]
Kabid Bahasa dan Seni, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Nurlaila Hamzah menyampaikan, beragam upaya terus dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh untuk mempromosikan dan melestarikan warisan budayanya. Salah satuya melalui roadshow kesenian berbasis gampong.