“Pada tahun 2016, total kasus kekerasan terhadap perumpuan di Aceh mencapai 711 kasus, sedangkan pada tahun 2017 menurun menjadi 687 kasus. Meskipun secara jumlah kasus menurun, tetapi bentuk kekerasan yang dialami perempuan justru meningkat tajam. Salah satu bentuk kekerasan paling dominan itu ialah kekerasan dalam bentuk psikis mencapai 666 kasus,” ungkap Nevi.
Sementara itu, bentuk kekerasan terhadap anak yang paling dominan sejak 2016 hingga 2017 ialah pelecehan seksual mencapai 240 kasus. Dari 23 Kabupaten/kota di Aceh, kekerasan terhadap anak paling banyak terjadi di Aceh Utara yakni sebanyak 123 kasus, disusul Banda Aceh 94 kasus, Aceh Besar 81 kasus, Bireuen 69 kasus, Pidie 57 kasus, Bener Meriah 52 kasus, Aceh Tengah 45 kasus dan Aceh Timur 35 kasus. Sementara untuk kabupaten/kota lainnya, angka kasus kekerasan tersebut ditemukan rata-rata dibawah angka 30.
“Kondisi anak-anak di Aceh akan semakin teracam denhan berbagai tindak kekerasan yang dialaminya. Peningkatan kasus ini menjadi peringatan bagi pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/kota untuk lebih serius pada upaya pencegahan hingga penanganan kasus kekerasan terhadap anak secara lebih baik di masa mendatang," jelasnya.
Nevi menegaskan, maraknya pelecehan seksual, pemerkosaan dan sodomi dalam setahun terakhir menjadi isu publik di Aceh harus direspon secara cepat. Menurutnya, tanpa ada upaya progresif, maka anak-anak di Aceh menjadi korban kejahatan seksual yang lebih parah.
“Kami berharap adanya kesadaran baik dari keluaraga maupun lingkungan masyarakat kan pentingnya penegakan hukum. Khususnya hukum bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bagi para keluarga kami mengimbau para keluarga yang tertimpa kasus tersebut segera melapor ke dinas terkait atau ke pihak berwajib agar mendapatkan pendapingan penyelesaian hukum," tambahnya.
Dalam kegiatan desiminasi dan ekpos bersama, tren kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, oleh P2TP2A bersama istri Gubernur Aceh, Darwari A Gani yang juga merupakan Dewan Pembina P2TP2A meminta dinas terkait agar adanya revisi qanun tentang penyelesaian kasus KTP dan KTA agar pelaku dapat diberikan hukuman seberat-beratnya. Harus dilakukan pendampingan sebagai bentuk advokasi terhadap kasus yang menimpa mereka.