Pemerintah Aceh Gelar FGD, Perkuat Implementasi Qanun Bahasa Aceh

October 3, 2025 - 00:37
Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh menggelar Focus Group Discussion (FGD) Revitalisasi Bahasa dan Sastra Aceh di Banda Aceh, Kamis (2/10/2025). (FOTO: Disbudpar Aceh untuk Habadaily.com)

HABADAILY.COM - Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh menggelar Focus Group Discussion (FGD) Revitalisasi Bahasa dan Sastra Aceh di Banda Aceh, Kamis (2/10/2025). Kegiatan ini bertujuan merumuskan strategi pelestarian Bahasa Aceh yang dinilai menghadapi ancaman kemunduran dan memperkuat implementasi Qanun Bahasa Aceh Nomor 10 Tahun 2022.

FGD tersebut menghadirkan akademisi, seniman, perwakilan Balai Bahasa, Lembaga Wali Nanggroe, dan berbagai instansi pemerintah terkait.

Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal, dalam sambutannya menekankan pentingnya pelestarian Bahasa Aceh sebagai bagian fundamental dari identitas budaya masyarakat.

“FGD ini merupakan bentuk kekhawatiran pemerintah terhadap semakin berkurangnya penggunaan Bahasa Aceh. Karena itu, pemerintah telah mengesahkan Qanun Bahasa Aceh dan menerbitkan Instruksi Gubernur yang mewajibkan penggunaan Bahasa Aceh setiap hari Kamis,” Kata Almuniza, Kamis (03/10/2025).

Kepala Disbudpar Aceh menutup kegiatan dengan menyampaikan bahwa hasil FGD, termasuk rekomendasi strategis yang dihasilkan oleh 22 pembahas, akan dilaporkan kepada Gubernur Aceh sebagai dasar pengambilan kebijakan, termasuk penguatan regulasi dan anggaran.

“Semoga rekomendasi yang kita hasilkan hari ini menjadi langkah nyata dalam menjaga kelestarian bahasa dan sastra Aceh, sehingga tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang di masa depan,” pungkas Almuniza.

Senada dengan itu, Moderator FGD, Prof. Harun Ar-rasyid (Universitas Syiah Kuala), menyoroti penurunan signifikan penggunaan Bahasa Aceh di sekolah dan ruang publik, meskipun masih cukup kuat di dayah dan balai pengajian.

Rektor ISBI Aceh, Prof. Wildan, menekankan perlunya konsistensi dalam pelaksanaan Qanun, khususnya Bab VIII yang mengatur 17 poin pengembangan bahasa dan 11 poin pengembangan sastra. Ia juga menyoroti tantangan di kampus.

“ISBI telah membuka Program Studi Bahasa Aceh, namun masih menghadapi keterbatasan dosen ahli dan kurikulum. Pelaksanaan Qanun harus diiringi dukungan nyata agar bahasa ini benar-benar berkembang,” tegasnya.

Sementara itu, Abdullah Hasbullah dari Lembaga Wali Nanggroe Aceh menyoroti minimnya penggunaan Bahasa Aceh dalam penyelenggaraan adat dan kegiatan budaya, serta masih adanya stigma negatif terhadap penutur Bahasa Aceh.

“Wali Nanggroe akan mendorong agar Bahasa Aceh diajarkan tidak hanya di kampus, tetapi juga di sekolah-sekolah hingga gampong. Bahasa adalah bagian tak terpisahkan dari adat,” katanya.

Ibrahami Sembiring, perwakilan dari Balai Bahasa Provinsi Aceh, menyatakan bahwa Qanun Bahasa Aceh sejalan dengan program revitalisasi bahasa daerah yang dijalankan Kemendikbudristek melalui program Merdeka Belajar sejak 2022.

Meski Balai Bahasa telah melakukan revitalisasi Bahasa Gayo dan melanjutkan ke sejumlah daerah lain, Ibrahami memberikan peringatan dini.

“Bahasa Aceh belum sepenuhnya terancam punah, tetapi gejala kemundurannya sudah terlihat di rumah tangga. Ini menjadi peringatan dini agar semua pihak bergerak,” tegasnya, sambil menambahkan bahwa keterbatasan anggaran masih menjadi kendala program.

Editor: Suryadi

© 2025 PT Haba Inter Media | All rights reserved.