
HABADAILY.COM—Kemiskinan akut masih mendera sebagian elemen masyarakat Kabupaten Bireuen. Tidak sedikit warga yang harus bertahan di gubuk reyot, meski program bantuan rumah layak huni bersileweran di depan mata mereka.
Kondisi tersebut antara lain mendera Jumiati (33), warga Seuneubok Rawa, Kecamatan Peusangan, Bireuen. Ia bersama dua anaknya yang masih usia sekolah dasar mendiami gubuk reyot dengan kondisi memprihatinkan.
“Beginilah kondisi tempat tinggal kami,” tutur Jumiati saat ditemui media ini, Selasa (18/6/2024).
Amatan media ini, tempat tinggal Jumiati dan keluarganya sudah tak lagi layak disebut rumah. Atap rumbia gubuk itu sudah keropos dan bocor-bocor. Dinding papannya juga terlihat keropos dimakan usia. “Kami sudah sekira 18 tahun menempati rumah ini,” lirih ibu rumah tangga ini sambil menarik nafas yang terasa berat.
Untuk memperbaiki rumah itu agar layak huni, sebut Jumiati, keluarganya sungguh tak berdaya. “Suami saya buruh harian, penghasilannya hanya cukup buat makan sehari-hari,” tuturnya.
Terkadang, lanjut dia, untuk jajan anaknya sekolah saja tidak terpenuhi. “Bagaimana bisa memperbaiki rumah, untuk kebutuhan sehari-hari saja serba kekurangan,” katanya.
Sementara untuk bantuan rumah dari pemerintah, kata Jumiati, memang tidak bisa diharapkan karena tidak memiliki tanah sendiri. “Ini tanah wakaf (lokasi gubuknya), jadi tidak mungkin mendapatkan bantuan rumah dari pemerintah,” ungkap wanita ini dengan nada kecewa.
Menurutnya, semula keluarganya sempat mengharapkan bantuan stimulus rehab rumah.”Itu pun tidak bisa kami dapatkan karena pertapakan rumah kami di tanah wakaf,” sebut Jumiati.
Dia berharap, semoga saja ada dermawan yang bantu biaya memperbaiki atap dan dinding gubuk yang mereka tempati. “Kami hanya berharap, ada kalangan dermawan yang membantu mewujudkan impian kami ini. Selebihnya kami menyerahkan kepada Allah semata,” imbuh Jumiati.

Kondisi serupa dialami Razali, warga Cot Jrat, Kecamatan Kota Juang, Bireuen. Kakek berusia 73 tahun ini tinggal sebatang kara di gubuk reyot berukuran sekira 3,5 x 2,5 meter.
Kondisi gubuk tersebut terlihat jelas sangat jauh dari kategori layak huni. “Saya sudah mendiami gubuk ini sejak awal 2005, setelah tsunami Aceh,” ujar Razali
Selama itu pula, tutur dia, sudah banyak pihak yang mengecek kondisi tempat tinggalnya. “Namun, katanya tidak bisa dibantu karena tidak berkeluarga,” sebut kakek ini.
Menurut Razali, selama ini dirinya sering mendengar adanya bantuan rumah layak huni bagi warga miskin. “Tapi bantuan itu tidak bisa saya dapatkan hanya dikarenakan saya tinggal seorang diri,” tuturnya sambil menelan ludah.
Diketahui, bantuan rumah layak huni dan rehab rumah selama ini terus mengalir untuk warga miskin di Aceh, termasuk Kabupaten Bireuen. Pada Tahun Anggaran 2017, misalnya, Pemkab Bireuen merampungkan pembangunan Rumah Sehat Sederhana (RSS) sebanyak 280 unit. Lalu pada 2018, menggelontorkan program bantuan 337 unit rumah untuk warga miskin, serta ratusan bantuan rehap rumah program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementerian PUPR untuk warga miskin di Kabupaten Bireuen.
Bantuan serupa juga berlanjut di tahun-tahun berikutnya yang dikelola Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kabupaten Bireuen. Apakah seluruh bantuan itu tepat sasaran atau sarat kepentingan yang bermuara pada dugaan penyimpangan? Karenanya, masih banyak warga Bireuen yang mendiami gubuk tak layak huni.[]