
HABADAILY.COM - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% menuai kritik tajam. Langkah ini dianggap tidak relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menegaskan bahwa Indonesia berpotensi memiliki tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara.
“Di Malaysia, tarif PPN hanya 6%, Singapura 7%, dan Kamboja 10%. Kalau kita naik jadi 12%, apakah kita punya kapasitas ekonomi seperti mereka? Tidak,” ujar Media dalam diskusi publik bertajuk Menggugat Kenaikan PPN 12% di Gedung YLBHI, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Menurutnya, ada beberapa indikator penting yang seharusnya menjadi pertimbangan sebelum menaikkan tarif PPN, seperti pendapatan per kapita yang tinggi, struktur ekonomi yang stabil, kebutuhan anggaran besar, serta tingkat kepatuhan pajak yang baik. Sayangnya, Indonesia tidak memenuhi sebagian besar kriteria tersebut.
“Pendapatan per kapita kita masih di ambang bawah untuk negara berkembang. Ekonomi domestik juga belum cukup stabil. Inflasi masih menjadi tantangan, begitu juga daya tahan ekonomi nasional,” kata Media.
Dia juga mengkritik motif di balik kenaikan PPN ini, yang diduga kuat untuk menutup kebutuhan anggaran besar akibat ruang fiskal yang semakin sempit serta pembiayaan janji politik.
Lebih dari itu, Media membeberkan dampak ekonomi serius yang akan muncul jika kebijakan ini diterapkan. Ia mengungkapkan, potensi nilai ekonomi yang hilang akibat kenaikan PPN bisa mencapai Rp 79 triliun. Selain itu, konsumsi rumah tangga diprediksi turun hingga Rp 40 triliun, sementara kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) akan menyusut Rp 65 triliun. Bahkan, ekspor pun diproyeksikan mengalami kontraksi sebesar Rp 19 triliun.
“Ekspor turun karena biaya operasional melonjak. Kenaikan PPN memicu peningkatan signifikan dalam biaya logistik dan produksi. Akhirnya, barang yang tadinya bisa diproduksi dengan biaya rendah jadi mahal. Ini tentu merusak daya saing kita,” jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, Media menilai bahwa rencana kenaikan PPN ini tidak hanya membebani masyarakat, tetapi juga menciptakan guncangan besar bagi sektor ekonomi, terutama rumah tangga dan industri ekspor.
"Menaikkan PPN tanpa landasan yang kuat itu bukan solusi, malah berisiko menambah masalah baru," pungkasnya.
Kritik ini semakin memperkuat pandangan bahwa pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan tersebut agar tidak semakin membebani rakyat dan merugikan perekonomian nasional.