HABADAILY.COM - Pusat Rehabilitasi Kesehatan Jiwa Masyarakat ‘Balee Cot Rang’ di Desa Lam Puuk, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar, telah menjadi role model (model percontohan) pusat rehabilitasi kesehatan jiwa di Indonesia.
“Alhmadulillah, Pusat Rehabilitasi Kesehatan Jiwa Masyarakat ‘Balee Cot Rang’ di Desa Lam Puuk telah menjadi role model pusat rehabilitasi kesehatan jiwa di Aceh, bahkan menjadi perhatian provinsi lain di Indonesia,” ujar Erliana AMd Keb, Penanggung jawab Kesehatan Jiwa (Keswa) Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar, Minggu (20/10/2024).
Erliana mengisahkan, awalnya pusat rehabilitasi tersebut berada di bangunan Pustu Plus Kesehatan Jiwa di kawasan Masjid Jamik Lamrabo, Kuta Baro, Aceh Besar. “Mereka bekerja sama dengan beberapa non-government organization (NGO) nasional dan internasional,” katanya.
Saat itu, pusat rehabilitasi memakai gedung bekas rawat inap Puskesmas sebagai bangunan untuk menjalankan operasional mereka. “Setelah bermusyawarah dengan tokoh masyarakat, camat, mukim, forum keuchik, dan keluarga pasien, akhirnya terbentuklah pusat rehabilitasi kesehatan jiwa masyarakat di Desa Cot Rang,” papar Erliana.
Dijelaskannya, Pusat Rehabilitasi ‘Balee Cot Rang’ memiliki beberapa program, di antaranya rehabilitasi, rawat jalan, pelatihan kader kesehatan jiwa, pendampingan keluarga pasien, dan program lainnya. “Program pendampingan keluarga pasien ini penting agar pasien mau untuk berobat dengan dukungan langsung dari keluarga,” sebutnya.
Saat ini, kata Erliana, pusat rehabilitasi tersebut sudah memiliki berbagai jejaring dan komunitas masyarakat, seperti Kader Kesehatan Jiwa dan Asosiasi Keluarga dengan Pasien Gangguan Jiwa.
“Di kampung-kampung itu semua ada kader kesehatan jiwa. Di Kuta Baro, kita mencanangkan Desa Siaga Sehat Jiwa. Itu di 47 desa sudah ada. Jadi kemudahan sudah terbentuk dari awal karena sudah ada jejaring. Tapi melakukan kunjungan ke rumah pasien itu tetap,” jelas Erliana.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga melakukan skrining atau penjaringan kesehatan untuk para remaja dan dewasa yang mengalami gangguan jiwa, seperti kecemasan berlebihan. “Untuk remaja berumur 15 hingga 18 tahun akan diberikan formulir Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Sementara untuk orang berumur 18 tahun ke atas, maka akan diberikan formular.
Kepala Puskesmas Kuta Cot Glie yang juga penggagas awal Pusat Rehabilitasi Kesehatan Jiwa Masyarakat ‘Balee Cot Rang’, NS Syukriyah SKep MKM menjelaskan, cikal bakal pusat rehabilitasi ini berawal sejak tahun 2005 atau pascatsunami 2004.
“Saat itu saya berstatus sebagai perawat jiwa yang direkrut dan diberikan pelatihan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh Besar bekerja sama dengan NGO lainnya,” katanya.
Setelah itu, sebut Syukriyah, pihaknya mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang apa itu Desa Siaga Sehat Jiwa. “Kami perawat punya inisiatif memberikan pelatihan untuk kader yang dibiayai oleh NGO. Bahkan, ada kader-kader yang secara sukarela mengumpulkan dana untuk pelatihan,” ujarnya.
Syukriyah menambahkan, besarnya dukungan dan kesadaran dari masyarakat setempat terkait penanganan masalah kejiwaan, membuat inisiatif tersebut berjalan sukses dan mulai mengadvokasikan program tersebut ke berbagai instansi pemerintah terkait. “Walaupun nggak ada dana, kader itu punya iuran dan inisiatif sendiri. Semangat seperti inilah yang akhirnya membuat Puskesmas Kuta Baro menjadi role model-nya Aceh dan Indonesia,” sebutnya.
Di tahun 2009, kata Syukriyah, pusat rehabilitasi sudah mulai menerima tamu seperti perawat, dokter, dan pejabat pemerintah dari seluruh Indo nesia yang datang untuk melihat sejauh mana peran pusat rehabilitasi di dalam program kesehatan jiwa di Aceh Besar.
“Kami memang jam terbangnya itu malam. Tujuan kita sebenarnya adalah agar masyarakat paham tentang kesehatan jiwa dan tahu cara mengatasi kasus pasien gangguan jiwa yang mengamuk, apa yang harus dilakukan, dan lain sebagainya. Itu yang penting,” kata Syukriyah.
Sementara bagi pasien sendiri, pihaknya memfasilitasi kemampuan dan keterampilan sesuai dengan yang mereka kuasai, seperti kerajinan tangan. “Misalnya kalau dia bisa memasak, kita akan menyediakan tempat memasak. Ada juga yang bisa membuat kerajinan tangan seperti bunga, menjahit, atau merajut, kita fasilitasi,” tuturnya.
Pihaknya juga mengadvokasi kepada perangkat desa dan masyarakat agar mau menerima pasien ODGJ dan tak melihat mereka secara berbeda. Misalnya jika ada proyek pembuatan got di desa, Syukriyah akan meminta perangkat desanya agar mempekerjakan pasien ODGJ. “Walaupun misalnya pekerjaannya hanya mengangkut pasir atau batu dengan upah yang tak seberapa, setidaknya pasien ODGJ sudah mendapatkan penerimaan dari lingkungan masyarakat desa,” katanya.
Selain melakukan pendekatan sebagaimana tercantum dalam kurikulum penanganan masalah kejiwaan, Syukriyah mengungkapkan, pihaknya juga menggunakan pendekatan lain, yaitu secara moral.
“Misalnya berkumpul dan masak bersama pada saat acara maulid atau bertamasya bersama ke laut. Karena itu, kesadaran masyarakat untuk tidak memperlakukan pasien ODGJ secara berbeda mulai tumbuh,” bebernya.
Dengan pendekatan seperti itu, ungkapnya, tak pernah ada lagi keluarga pasien di Kuta Baro yang memasung anggota keluarga mereka yang berstatus ODGJ. Menyangkut kendala yang dihadapi terkait penanganan jiwa di Kuta Baro secara khusus dan Aceh Besar secara umum, menurut Syukriyah, adalah belum adanya perhatian khusus terkait kesehatan jiwa dari masyarakat dan pemerintah.
“Seharusnya pemerintah mulai memperbanyak perawat jiwa komunitas dan tidak hanya dibatasi selama program tertentu saja. Tentu saja diberikan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka,” pungkasnya