Wanto menyebutkan, penentuan kriteria pemberian tunjangan bagi pegawai dilakukan dengan melihat beban kerja, tempat tugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau mempertimbangkan hal objektif lainnya. “Penambahan besaran standar tunjangan ini dilakukan dengan melihat aspek efesiensi, efektivitas, kepatutan, dan kewajaran serta rasionalitas.”
Sedikit membandingkan, Pemprov Sumatera Utara lewat Peraturan Gubernur No.11 Tahun 2017, telah merasionalisasikan nilai tunjangan pegawai negara di daerahnya. Dalam Pergub itu, pejabat eselon IIa, diberikan tunjangan senilai Rp25 juta. Padahal total dari APBD Sumatera Utara adalah Rp15,2 triliun. Sementara pegawai di sana mencapai hampir 30 ribu orang. Begitu juga Provinsi Sumatera Barat, juga di atas rata-rata tunjangan ASN Aceh.
“Sementara Aceh yang APBA-nya mencapai Rp17,3 triliun dan pegawainya berjumlah 22 ribu orang. Tunjangan tertinggi bagi pegawai di Pemprov Aceh, yaitu pegawai dengan eselon IIa, adalah Rp20 juta. Artinya, dengan APBD lebih tinggi dan jumlah pegawai yang lebih sedikit, maka sudah sepatutnya tunjangan bagi pegawai di Pemprov Aceh ditambah. Sebenarnya kalo kita melihat secara positif, penghasilan yang sah seorang pejabat eselon 2 pemerintah provinsi aceh saat ini sangatlah jauh dari penghasilan yang sah dari seorang anggota DPRA,” paparnya.
“Penambahan tunjangan dilakukan berdasarkan kemampuan keuangan daerah dan nanti pastinya sesuai dengan persetujuan dewan,” lanjut Wanto.[]